TentangSantri; Profil Aswaja Center; Donasi; Tanya . PISS-KTB; Konsultasi Fiqih; Melalui SMS; Live Syi’ir Gus Dur; Syi’ir Gus Dur. Posted on Agustus 4, 2011 by PISS-KTB
Pasuruan ANTARA News - Ratusan umat Islam Syiah melaksanakan tahlil khusus untuk almarhum KH Abdurrahman Wahid di Masjid Astsaqolain Yayasan Pesantren Islam YAPI Kenep, Beji, Bangil, Pasuruan, Jawa Timur, Sabtu. Pengajar Pesantren YAPI, Ustadz Segaf Assegaf menjelaskan, tahlil khusus tersebut untuk menghormati KH Abdurrahman Wahid sebagai tokoh pluralis yang tidak membeda-bedakan kelompok. Dia menyebutkan, meski Gus Dur tidak pernah mendatangi Pesantren YAPi di Bangil, umat islam Syiah merasa telah dibelanya. Ustadz Segaf mengatakan, sewaktu umat Islam Syiah dituduh mempunyai Alquran berbeda dari umat Islam lainnya, Gus Durlah yang melakukan klarifikasi bahwa Alquran umat Syiah sama dengan Alquran umat Islam lainnya. Ustadz Segaf juga mengungkapkan, pemikiran-pemikiran Gus Dur juga sangat pas dengan pendapat-pendapat Islam Syiah, sedangkan perbedaan-perbedaan selama ini hanya keniscayaan semata. Ia menjelaskan, umat Islam Syiah di Bangil selama ini juga secara rutin melaksanakan, tahlil, khaul, serta peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW. Kepala YAPI Bangil, Ustadz Abdul Mukmin menjelaskan, Yayasan Pesantrean Islam YAPI Bangil pada awalnya berdiri di kawasan Kancil Mas Bangil sekitar tahun 1974. YAPI Bangil sebelumnya berada di Bondowoso. Namun pada tahun 1985 YAPI Bangil pindah ke Kenep, Beji, untuk santri putranya. Sedangkan santri putrinya masih berada di Kota Bangil. Jumlah santri YAPI sebanyak 315 santri putra, dan 240 santri putri yang datang dari berbagai kota di Indonesia. Sementara YAPI hanya ada di Bangil, tidak membuka cabang di kota lain. Sistem pendidikannya mulai jenjang SMP hingga SMA serta Hauzah khusus agama Islam. *Pewarta Editor Jafar M Sidik COPYRIGHT © ANTARA 2010
GusDur juga selalu mengatakan bahwa Syiah itu adalah NU plus imamah dan NU itu adalah Syiah minus imamah. Bahkan beliau orang yang pertama di Indonesia yang bukan Syiah yang menggelar peringatan Asyura di Ciganjur,” kata salah seorang ulama Syiah Indonesia, Hasan Dalil, kepada Rakyat Merdeka Online, beberapa saat lalu (Jumat,1/1).
Ulama ensiklopedis, demikian cendekiawan muda NU Zuhairi Misrawi menyebut KH Jalaluddin Rakhmat, itu telah pulang ke Rahmatullah, Senin, 15 Februari lalu. Terus terang, saya sangat kaget. Tak dengar kabar sakitnya. Begitu tiba-tiba, Covid-19 telah merenggutnya, menyusul istri tercinta yang wafat empat hari sebelumnya. Inna lillahi wa inna ilaihi roji’ akhir Desember lalu, saya dan Haddad Alwi, sebenarnya sudah merencanakan sowan ke Bandung. Tak lain, ingin mendiskusikan banyak hal, tentang ukhuwah Islamiyyah, tentang persaudaraan kebangsaan, dan lain-lain. Tapi belum terlaksana, Kang Jalal, begitu Jalaluddin Rakhmat kerap disapa, sudah kembali ke kita semua kehilangan. Bagi saya pribadi, Kang Jalal sudah tak asing lagi. Namanya sudah saya kenal sejak awal 1990-an. Di antara karyanya, seperti Islam Alternatif 1986, Islam Aktual 1991, Renungan Sufistik 1991, juga Retorika Modern 1992, menjadi bacaan “wajib” yang sampai saat ini masih suka saya telaah 1993, bersama kawan-kawan gerakan dan forum kajian di Jombang, dulu pernah menghadirkannya dalam kajian tentang pemikiran Ali Syari’ati. Pemikiran yang sangat digandrungi para mahasiswa saat itu. Mereka merindukan gerakan alternatif mungkin karena kebuntuan-nya dalam menghadapi “represivitas” Orde Baru. Kang Jalal menyuntikkan semangat khusus, “virus” spiritualitas, di tengah dahaganya gerakan aksi mahasiswa yang seringkali hanya bermodalkan spanduk, pers release, dan kadang “caci maki” situlah, untuk pertama kalinya, saya bertemu dan berbincang cukup lama. Kang Jalal sangat santun dan bersahaja. Saya waktu itu baru berumur 23 tahun, sementara Kang Jalal sudah 45 tahun. Jarak yang cukup jauh, tak membatasi keakraban kami. Sikap “ngemong”-nya bagi saya luar biasa. Keramahannya, mau menjadi pendengar yang baik, dan friendly, itulah akhlaq yang harus kita yang sejak lahir memang NU, saat itu sudah aktif di PMII, tentu sangat mengagumi Gus Dur. Bahkan kemudian kawan-kawan sering menyebut saya Gusdurian. Di situlah kemudian saya “menyambungkan-diri” dengan Kang Jalal. Ternyata efektif. Mungkin karena dia juga ahli komunikasi, pertemuan saat itu menjadi sangat komunikatif. Tak ada jarak, meskipun saat itu Kang Jalal terbilang sudah menjadi cendekiawan ternyata, baru saya ketahui belakangan ini, menurut pengakuan Kang Jalal sendiri, dia lahir dan dibesarkan di lingkungan NU. Hanya kemudian, setelah pindah ke kota, kuliah di Bandung, dia lebih aktif di Muhammadiyah. Dengan demikian, hemat saya, Kang Jalal adalah NU yang Muhammadiyah atau sebaliknya, sebutan yang nge-trend Muhammad Gus DurTeman saya, Wakil Katib Syuriyah PBNU Sa’dullah Afandi, berbagi cerita kenangan. Saat itu, tepatnya pada 1997, dia ditugaskan redaktur Warta NU untuk wawancara khusus dengan Kang Jalal di Bandung. Seusai wawancara, dia memberanikan diri bertanya secara pribadi. “Kang, kenapa Anda seorang Muhammadiyah koq hijrah’ ke Syiah?” Demikian Jalal pun kemudian membuka cerita. Bahwa dia—yang saat itu sudah menjadi mubaligh yang punya nama di Muhammadiyah—telah bertahun-tahun mengisi pengajian bulanan di RS Yarsi Jakarta. Tentu kajian tentang Ke-Muhammadiyah-an yang selalu ketika pendiri RS tersebut meninggal, dia diundang pengajian yang jamaahnya sebagian besar ibu-ibu tersebut, ternyata ada tahlilan juga. “Wah, saya telah gagal me-Muhammadiyah-kan jamaah pengajian ini.” Gumam Kang Jalal saat itu. Bingung, kaget, juga pengajian Yarsi itu, mayoritas adalah pendatang dari Jawa yang sudah terbiasa dengan tradisi tahlilan di daerah asalnya. Menurut Kang Jalal, mereka sudah tak berpikir lagi bahwa amalan tersebut sebagai perbuatan bid’ah, tetapi justru menjadi bagian dari kearifan lokal yang sudah turun-temurun dilakukan untuk mendoakan orang yang sudah Jalal pun akhirnya “curhat” tentang kekecewaannya itu kepada Gus Dur. Seperti biasa, Presiden ke-4 RI itu hanya tertawa. Bukannya mengajak kembali ke NU, tapi justru merekomendasikan putra Kang Jalal untuk belajar Syiah ke Iran, ketika dia meminta rekomendasi Gus Dur—yang saat itu sebagai Ketua Umum PBNU—untuk beasiswa putranya cukup disitu, Gus Dur bahkan juga mengantar Kang Jalal dan putranya ke Iran, menitipkan langsung kepada ulama Syiah di menarik adalah cerita tentang obrolan Kang Jalal dengan Gus Dur, dalam perjalanan pulang dari Iran.“Gus, kenapa anak saya harus belajar ke Iran?”“Gini Kang, sampean kan kecewa menjadi mubaligh Muhammadiyah yang gak direken jamaah yang sudah puluhan tahun sampean bina. Mending sampean belajar Islam Syiah saja.”Iklan “Kenapa gak diajak ke NU saja, Gus?”“Di NU itu sudah banyak kiai yang alim dan pinter kitab kuning. Sampean nanti paling cuma jadi santri, jadi jamaah mereka. Tapi kalau di Syiah, sampean pasti jadi tokoh.”Kang Jalal kaget. Gus Dur hanya terkekeh. Akhirnya, mereka pun tertawa Dewan Syura Ikatan Jamaah Ahlul Bait Indonesia IJABI Jalaluddin Rakhmat kanan didampingi Ketua Majelis Ukhuwah Sunni-Syiah Indonesia Muhsin Daud Poliraja kiri memberikan keterangan terkait dengan penyerangan pesantren Syiah di sampang beberapa waktu lalu, Jakarta, Sabtu, 31 Desember 2011. ANTARA/M Agung RajasaSejak itulah, Kang Jalal sering diundang ke Iran, mengikuti kegiatan dan pertemuan internasional di negeri Persia tersebut. Kemudian, dia pun menjadi tokoh utama Syiah Indonesia, dengan mendirikan IJABI Ikatan Jamaah Ahlul Bait Indonesia.Kang Jalal tak memungkiri, itu semua adalah “berkah” Gus Dur, yang telah membuka jalan ke Iran. “Jadi, kenapa saya Syiah? Gus Dur lah yang harus bertanggungjawab, karena saya di-Syiah-kan oleh Gus Dur.” Demikian PersaudaraanSaya tak tahu pasti kebenaran cerita tersebut. Tapi saya meyakini bahwa hal itu benar adanya. Karena bagaimanapun, tokoh-tokoh yang kita kagumi itu adalah pribadi yang jujur dan terbuka. Kalau demikian, menurut saya, betapapun hebatnya Kang Jalal sebagai tokoh Syiah selama ini, dia ternyata masih menyandarkan kepada Gus saya, itu sah-sah saja. Gus Dur adalah tokoh besar. Terlebih saat itu, sebagai Ketua Umum PBNU, Gus Dur memang harus mengayomi “umat”, dari mana pun asalnya. Sebagai seorang pluralis, Gus Dur harus pula membuka jalan “kebenaran” untuk siapa saja yang mau dengan tulus dan konsiten muslim dan Ketua Dewan Syuro Ikatan Jamaah Ahlulbait Indonesia IJABI, Jalaludin Rakhmat berpose dengan sampul buku karyanya berjudul “Life After Death - The Ultimate Journey” yang diluncurkan 29 Agustus 2012. TEMPO/Praga UtamaBegitu pula Kang Jalal. Dengan kejujurannya itu, dapat dipastikan, dia bukanlah penganut Syiah yang eksklusif. Dia bukanlah bagian dari penganut “paham yang salah”, yang hanya suka dan terbiasa menyalahkan mereka yang tidak se'alim Kang Jalal, tentulah juga sangat memahami NU. Terlebih, dia memang lahir dan dibesarkan di lingkungan nahdliyin. Saya yakin, kapasitas ke-NU-annya tak sekadar formal dan ritual, apalagi simbolik semata. Kang Jalal adalah pecinta ilmu, pembaca yang sempurna, tentu dapat dipastikan dia sangat memahami Khittah dan prinsip ajaran Hadlratus-Syaikh KH Hasyim Asy'ari paling fundamental di antara ajaran Bapak pendiri NU itu, sebagaimana termaktub dalam Qanun Asasi 1926, adalah“Persatuan, ikatan batin satu dengan yang lain, saling bantu menangani satu perkara dan se-iya sekata, merupakan penyebab kebahagiaan yang terpenting dan menjadi faktor paling kuat untuk menciptakan persaudaraan dan kasih sayang.”Dalam konteks itulah, saya juga memahami pemikiran Kang Jalal selama ini. Berikut sikap, tindakan, dan laku hidupnya. Terutama yang berkaitan dengan komitmen dalam mewujudkan persaudaraan sesama, dengan landasan cinta yang senantiasa digelorakannya. Baik cinta sesama muslim, sesama warga bangsa, maupun sesama umat manusia. Dalam hal ini, dia sering mengutip salah satu pesan utama Imam Ali bin Abi Thalib “Manusia itu ada dua golongan, yaitu golongan yang bersaudara dalam satu agama, dan golongan yang bersaudara sesama ciptaan Tuhan.”Inti ajaran itulah yang melandasi gerakan Kang Jalal. Yakni, cinta persaudaraan. Tak hanya berhenti di situ, dia telah berikhtiar nyata selama ini, mewujudkan persaudaraan atas dasar cinta dan kasih sayang. Karena di sinilah sejatinya esensi dari prinsip ajaran Islam rahmatan lil amin.
.
  • jiiub34eiz.pages.dev/194
  • jiiub34eiz.pages.dev/46
  • jiiub34eiz.pages.dev/753
  • jiiub34eiz.pages.dev/50
  • jiiub34eiz.pages.dev/563
  • jiiub34eiz.pages.dev/894
  • jiiub34eiz.pages.dev/537
  • jiiub34eiz.pages.dev/445
  • jiiub34eiz.pages.dev/446
  • jiiub34eiz.pages.dev/297
  • jiiub34eiz.pages.dev/54
  • jiiub34eiz.pages.dev/390
  • jiiub34eiz.pages.dev/284
  • jiiub34eiz.pages.dev/295
  • jiiub34eiz.pages.dev/988
  • gus dur tentang syiah